youtube

Thursday, October 04, 2012

Perjalanan Bersama Truk Ekspedisi

Punya banyak istri dan erat dengan prostitusi memang terkadang membuat profesi seorang sopir truk dipandang miring. Kadang polisi pun juga menjadikan mereka sasaran pungli di sepanjang jalan. Tapi mari kita lihat, tanpa jasa mereka, roda perekonomian antar pulau tak mungkin dapat berputar.

Waktu itu, Labuan Bajo nampak ramai sekali. Puluhan perahu nelayan memenuhi pelabuhan laut di ujung barat Pulau Flores itu. Sebuah kapal feri pun ikut bersandar tak jauh dari tempat itu. Tidak terlihat antrian tiket di loket. Karena ragu melihat lengangnya antrian tiket, kuberanikan diri bertanya pada petugas apakah ada feri ke Sape atau tidak. Lega dalam hatiku karena masih ada feri yang berangkat jam tujuh malam nanti. Tanpa pikir panjang aku segera beli tiket, lalu bersiap-siap keluar dari penginapan yang aku pesan beberapa jam lalu. Biarlah, aku harus berhemat waktu untuk menyelesaikan perjalananku yang melelahkan ini.


Jam setengah tujuh aku segera bergegas memasuki feri. Hanya sepintas petugas pelabuhan melirik tiketku lalu membiarkanku berjalan menuju feri. Mungkin nggak usah bawa tiket pun nggakpapa. Setelah melalui deretan lelaki yang duduk di pagar besi pembatas laut dan dermaga, belasan truk-truk raksasa, dan beberapa anak penjaja mutiara, masuk ke feri. Feri nampak longgar. Rupanya tak banyak penumpang yang naik karena ombak memang sedang tinggi-tingginya. Tapi bagian dasar kapal hampir penuh oleh truk-truk ekspedisi dan mobil.

Dalam perjalanan malam itu aku berkenalan dengan Stephen dan Karel. Yang satu kernet truk Kawi Indah, yang lainnya mantan pemburu paus di kepulauan Alor dan Solor. Karel asyik mengisahkan petualangannya berburu paus hingga tertangkap polisi perairan Australia, sedangkan Stephen cuma jadi pendengar setia. Akhirnya, feri sampai di Sape jam 3 pagi. Step menawari menumpang truknya sampai ke Bima. Tanpa pikir panjang aku menerimanya daripada kedinginan menunggu bus Sape - Bima yang baru tiba jam 7 pagi. Walau tampak pendiam, Pak Tua, panggilan akrab sopir Kawi Indah, amat ramah dan baik hati. Dia tak hanya mengantarku sampai ke Bima, tapi hingga ke perbatasan Lombok Tengah dan Timur. Mungkin jika tak ada keperluan di Praya, aku bisa ikut mereka ke Surabaya.

Truk Pak Tua melaju di jalan yang sangat lengang. Selain kami, ternyata masih ada 4 truk lagi di belakang. Konvoi truk ini membelah pagi yang dingin, berjalan beriring. Baru 2 jam perjalanan, sebuah truk menyalip sambil menyalakan klakson, mengajak Pak Tua berhenti. Ternyata, salah satu truk bannya meletus. Setelah menghentikan truk, semua awak turun. Sebagian membantu temannya yang terkena musibah, sebagian lagi istirahat dan asyik mengobrol di pinggir jalan.

Dan ternyata, ban meletus merupakan makanan kami sepanjang jalan. Dari truk yang satu ke truk lain, dari ban depan ke ban belakang. Tak kurang 2 - 3 kali ban sebuah truk meletus dalam semalam. Maklum, perjalanan memang panjang, bahkan puluhan ribu kilometer. Medan jalan pun berat, berliku, berbatu, rusak, atau aspal berpasir. Belum lagi beratnya beban yang dibawa, hingga 5 - 20 ton. Pantas kalau ban-ban truk ini cepat gundul. Truk-truk ini mengangkut hasil bumi dari flores seperti kopi, cengkeh, coklat, pisang, dan vanili. Tujuannya beragam. Ada yang ke Denpasar, Surabaya, dan Jakarta. Seperti Pak Tua yang mengangkut coklat menuju Surabaya.

Ternyata upah sopir truk seperti Pak Tua cukup besar. Sekali angkut barang ke Surabaya, dia dibekali uang jalan Rp 5-8 juta. Sebagian untuk pengeluaran seperti solar, tiket ferry, makan, dan dana darurat kalau-kalau ada kerusakan truk yang tak bisa diatasi sopir. Sisanya buat ongkos sopir truk dan kernet. Sayangnya uang jalan mereka kerap terpangkas untuk membayar pungli petugas dan pak polisi. Pak Tua dan kernetnya masih menerima upah bulanan dari bos. “Yah. pokoknya cukup untuk makan,” katanya tanpa mau menyebut jumlahnya.

Paginya kami beristirahat di sebuah warung kecil pinggir jalan, beberapa km di luar kota Bima. Sarapan pagi itu cukup dengan kopi, indomie, dan roti kampung. Para sopir nampak guyup dan akrab, saling bersenda gurau. Seperti saudara saja. Botol moke (semacam arak) dibagikan.

Selesai sarapan, dua polisi bermotor menghampiri. Mereka tampak berdebat dengan seorang sopir dan teman-temannya. Pungli kata Pak Tua. Entah apa kesalahan mereka, dua polisi menarik sebuah truk Rp 50.000. Ongkos parkir pinggir jalan, alasan polisi. 

Takut menjadi korban pungli berikutnya, kami segera melanjutkan perjalanan. Dibanding jalan-jalan di Flores yang rusak, berbatu dan penuh tikungan, jalan raya di Sumbawa beraspal halus dan lebar. Pak Tua pun menambah kecepatan. Kami melalui kebun-kebun pisang yang meranggas dimakan hama. Melihat saya terkantuk-kantuk, Step menyuruhku tidur di ruang belakang, tepat di belakang tempat duduk sopir. Di sana memang ada ruang untuk berbaring, cukup empuk dan hangat. Tapi sulit bagi saya memejamkan mata.

Sialan, lagi-lagi kami dihadang pungli seusai menyebrangi selat Sumbawa menuju Lombok timur tengah malam. Kali ini oleh petugas jembatan penimbangan selepas dermaga Labuhan. Semua truk pengangkut beban dikenakan UU karantina dan harus membayar Rp 100 per kg beban yang dibawa. Hampir satu jam para sopir dan awak berdebat dengan petugas, karena mereka merasa barang yang dibawa bukan untuk diekspor sehingga tak perlu dikarantina. Meski akhirnya diperbolehkan meneruskan perjalanan kembali, mereka harus mengeluarkan uang damai yang tak sedikit jumlahnya.

Ingat!! Mereka Tak Selalu Negatif

Semula aku ragu menumpang truk. Ingat cerita-cerita seram teman yang melakukan survey truk jalur pantura Jawa. Katanya, sopir truk menjadi pelanggan setia pekerja seks, dan penular aktif penyakit kelamin dan HIV-AIDS. Mereka juga tak tahan melihat perempuan. Tapi, kali ini sungguh berbeda. Mereka amat ramah, senang bercanda, sopan, dan murah hati. Pak Tua misalnya berkali-kali memberi tumpangan kepada perempuan dan anak-anak sepanjang perjalanan menuju Sumbawa.

Aku pun melihat untaian rosario menjuntai di atas kaca setirnya. Katanya, menjadi sopir truk bukan pekerjaan mudah. Berhari-hari duduk di belakang setir, membuat orang cepat bosan dan lelah. Sedikit saja kehilangan konsentrasi, bisa berakibat fatal. Karena itu sopir truk senang memberi tumpangan. Apalagi kalau yang diberi tumpangan senang bercerita.

Ketika kami beristirahat di sebuah rumah makan di Sumbawa Besar, para awak truk mempersilakanku mandi duluan. Dan ketika tiba waktu makan malam, mereka berlomba-lomba menraktir aku makan. Ah.. malu rasanya diperlakukan seperti itu, kan aku juga cuma orang biasa. Namun ada satu hal yang membuat aku makin terkesan, mereka menolak untuk diambil fotonya. Malu, alasannya.

Pak Tua tiba-tiba bertanya mengenai tujuanku. Akhirnya tepat di depan kantor polisi, aku meloncat turun setelah menyelipkan uang rokok ke kantong Pak Tua. Dia hanya tersenyum tipis sambil berpesan agar saya berhat-hati. Lalu truknya menderu dalam kegelapan, meninggalkan saya yang lupa menanyakan nama aslinya. Untung saya mendapat kenang-kenangan sarung Maumere pemberian Steph dan teman-temannya, serta pesan mereka agar tak ragu-ragu mencari konvoi truk mereka jika berkunjung ke Flores lagi.

Sungguh undangan persahabatan yang tulus.